Pendidikan Sains adalah Sejarah dan Bahasa

Sedikit siswa SMA dari jurusan IPA (baru-baru ini berubah menjadi sains atau alam) yang pernah lupa bagaimana rasanya stress menghadapi ujian nasional. Sekian banyak istilah yang harus diingat, rumus yang harus dihapal dengan berbagai simbol asing dan mekanisme-mekanisme alam yang sebenarnya tidak pernah benar-benar kita rasa jumpai di sekeliling kita (siapa yang ingat tentang pola interferensi Young?). Tapi kita semua berusaha untuk lulus: sekolah mengadakan les tambahan, ikut les di luar, belajar sampai rasanya cukup walaupun mungkin orang tua dan guru kita menganggap usaha kita masih kurang.

Sulit rasanya memisahkan pendidikan sains dengan gambaran-gambaran tersebut. Situasi yang membuat munculnya berbagai ungkapan tentang bagaimana pelajaran IPA sebenarnya tidak pernah mengajarkan hal-hal yang bermanfaat langsung dalam hidup.

Berbicara tentang pendidikan sains di sekolah, kita mau-tidak mau harus melihat bagaimana kurikulum suatu mata peajaran di bentuk. Di Indonesia, sains di sekolah terbagi menjadi tiga kelompok besar : Fisika, Kimia dan Biologi. Selama puluhan tahun, tiga kelompok besar ini terus bertahan bersama dengan beragai subjek pelajaran yang lain (ekonomi, geografi dll) sampai baru-baru ini muncul adanya upaya untuk menyamarkan garis demarkasi antar disiplin ilmu oleh kurikulum 2013.

Namun disaat yang bersamaan, banyak pihak setuju dengan pandangan membuat pelajaran menjadi lebih kontekstual, melihat pada situasi nyata yang lebih berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Adanya batasan antar subjek pelajaran membuat munculnya masalah terkait relevansi pelajaran terhadap topik di kehidupan nyata. Misalnya, dalam pelajaran biologi di lakukan diskusi tentang pemanasan global, isu aktual yang berhubungan dengan kehidupan siswa.

Pada kenyataannya diskusi semacam ini tidak akan bisa memisahkan diri dari berbagai situasi non-biologi lain yang terlibat : geografi, ekonomi, sosial dan politik. Banyaknya kombinasi antar disiplin ilmu mengakibatkan proses pembelajaran semacam ini sering dihindari karena dianggap membuat siswa tidak fokus terhadap konten Biologi dan guru menganggap diri mereka tidak cukup kompeten untuk membahas subjek lain di luar mata pelajaran yang mereka ajarkan.

Dari paparan tersebut, tergambar sebuah paradoks: Ilmu tentang kehidupan yang diajarkan di sekolah telah di pisah-pisahkan menjadi subjek-subjek terpisah dan di cabut dari konteksnya. Sehingga tidak aneh jika muncul hubungan (yang menjadi masalah) antar disiplin ilmu saat mengajarkannya kembali dalam konteksnya.

Apa tujuan dari pendidikan sains? Apa yang seharusnya diajarkan dalam pelajaran sains? dilanjutkan dengan pertanyaan apa yang dimaksud dengan sains? Pertanyaan ini tentu akan berujung pada pertanyaan filosofis yang tak berujung, yang selama ini dijawab oleh sistem pendidikan di banyak negara dengan pandangan positivistik yang kuat. Jawaban yang seharusnya dipertanyakan oleh semua kalangan karena mau tidak mau kehidupan kita semua bergantung pada hal ini. Jawaban yang selama ini membuat kita semua tersandung oleh gajah dalam ruangan: evaluasi dan assesmen.

Sesuatu dianggap sebagai sains jika mengikuti cara berpikir yang sistematis, adanya hipotesis, analisis, interpretasi data dan kesimpulan yang untuk sementara kita anggap sebagai penjelasan atas dunia yang kita tinggali. Jika ini menjadi dasar pendidikan sains, maka pada hakikatnya pendidikan sains tidak lagi menjadi proses transfer ilmu antar guru dan siswa, namun proses pembudayaan oleh guru terhadap cara berpikir siswa. Lingkungan, proses pendidikan, assesmen dan evaluasi akan berubah seiring dengan pandangan ini.

Apakah ini artinya siswa dalam pendidikan akan berhenti mempelajari Fisika, Kimia, dan Biologi seperti yang selama ini dilakukan? Bisa jadi. Bayangkan pendidikan tematik kontekstual (yang baru dirancang untuk SD di Kurikulum 2013)  yang mengintegrasi antar disiplin ilmu, namun pada hakikatnya masih memegang prinsip sains dan ketidak pastiannya. Tentu saja untuk merealisasikannya dalam bentuk kurikulum memerlukan banyak energi dan pemikiran yang lebih holistik dan mendalam tentang situasi saat ini (yang tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan sosial lainnya).

Dengan pandangan ini, kita semua harus siap menerima bahwa sains bukan lagi pelajaran bahasa seperti yang selama ini terjadi, namun pelajaran sejarah yang akan terus berubah dari masa ke masa.