Kuliah S2 dan Hitung-Hitungan (Dana Pribadi) Beasiswa

Beasiswa juga harus tetep punya modal, nggak bisa ngarepin semuanya bisa langsung ditanggung full–Bu Iday/Dosen FKIP pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat

Sebagian orang sudah tahu, bahwa sebelum  mendapatkan beasiswa in aku sebenarnya sudah berkuliah selama 1 semester di Universitas Lambung Mangkurat di Magister Pendidikan Biologi. And then LPDP happened. Atas berbagai pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk berhenti berkuliah.

Sebagian orang yang tahu pun ikut bertanya-tanya, kok berhenti sih? Kenapa nggak dilanjutin aja kuliahnya? Kadang aku agak bingung bagaimana cara menjawabnya karena ada perhitungan yang cukup panjang sebelum aku memutskan untuk mengambil pilihan ini . I always end up saying: “Sayang uangnya, kalau dengan dana yang sama bisa kuliah sambil jalan-jalan.,”

I was never intended to write about this, soalnya kupikir orang mungkin ngerti kok apa yang aku maksud dalam kalimat tadi. Until now.

I don’t think anyone will understand sampai ngalamin sendiri gimana rasanya diminta bayar deposit £500 bahkan sebelum bikin visa (which is kalau di LPDP, visa jadi tiket pertama buat dapat biaya kedatangan 1).

So, here it is, itung-itungan keputusan mulai dari sejak lulus kuliah sampai sekarang (dapat LoA, nunggu CAS, dapat offer akomodasi).

Perkiraan kuliah di dalam negeri, setidaknya untuk di magister Pendidikan Biologi Unlam adalah sekitar 7-8 juta rupiah untuk satu semester. Ini termasuk SPP sebesar 3 jutaan dan dana sumbangan sekitar 4 juta untuk tahap pertama (bisa dibayar tiga kali angsuran bersamaan dengan bayar SPP). Ada lagi uang transport PP Banjarbaru-Banjarmasin yang amannya dihitung 3 liter pulang pergi per minggu selama 4-6 bulan(setelah dihitung-hitung) + biaya gono gini. Oiya, ada juga field trip ke jawa 1 kali, berapa ya, 3-5 juta, lupa. Jadi kira-kira minimal akan habis sekitar 25 jutaan.

Sisi yang paling tidak  mengenakkan drai halini adalah kuliah S2 ini nggak self-funded, ada sponsor, yakni ortu. Hehehe. Makanya aku mengangap ini bukan kesempatan kuliahnya, tapi dilihat dari nilai nominal yang digunakan dan apa yang bisa aku dapat. Seperti young-adult pemilih lainnya, aku juga memperhitungkan, bisa dapet lebih nggak sih dengan dana sebesar itu.

Karena itulah aku daftar beasiswa LPDP, dua kali, dan it turns out aku lulus. Saat itu perkuliahan di Unlam kalau nggak salah sudah berada di penghujung semester 1. Seleksi LPDP pertama yang aku ikuti di sekitar bulan Juni. Administrasi lulus, mengharuskan aku ke Jakarta untuk seleksi wawancara karena sepertinya pendaftar beasiswa di banjarmasin tidak cukup banyak. Aku tidak lulus, pulang dengan tangan hampa (eaaa).

Kemudian di Agustus aku mendaftar lagi beasiswa LPDP untuk kategori BPRI. Yang kembali lulus seleksi administrasi dan harus ke jakarta untuk wawancara karena BPRI memang hanya mengadakan wawancara di Jakarta untuk suatu alasan.

Dipertengahan itu aku sudah mulai menghitung, berapa biaya untuk seleksi ke Jakarta lagi (2-3 jutaan untuk biaya pesawat, transport, akomodasi dan makan), berapa biaya untuk ikut tes TOEFL ITP (saat itu baru 300 an). Dan biayanya lumayan besar. Saat itulah aku memutuskan untuk ‘memakai dana kuliah di semester  2’ untuk ‘urusan seleksi’, dengan niat, ‘kalo nggak lulus lagi, aku bakal tetep berhenti kuliah S2 dan memilih kerja dulu biar bisa S2 an pakai dana sendiri,’. Tapi karena masih takut/ragu, aku belum benar-benar berhenti tapi cuma ‘bilang cuti’. disebut seperti itu karena walaupun cuti aku tetap tidak bayar sekian persen biaya spp cuti.

Alhamdulillah lulus. Karena lulus, aku jadi harus ikut tes ke 3 dan PK  sekitar 1 bulan setelah itu. Ke Jakarta lagiiii. (ayoo hitung). Akhirnya aku memantapkan hati untuk benar-benar berhenti dan tidak bayar uang cuti apapun ke kampus karena hitung-hitungan ini.

Kemudian perjuangan di mulai. Saat aku lulus BPRI, aku masih belum lulus di University of Melbourne. Salah satu persyaratan adalah aku harus mensubmit skor IELTS atau TOEFL iBT dan bukannya iTP seperti yang sudah kuambil (saat itu, iTP adalah syarat dari AAS, beasiswa australia yang juga aku apply sebelumnya). Setelah berbagai pertimbangan akhirnya aku mendaftar di UniMelb dan memilih untuk mengambil tes bahasa inggris satunya lagi: IELTS. Alasannya karena kalau ditolak di UniMelb, universitas tujuanku selanjutnya berada di Inggris yang umumnya hanya menerima IELTS sejak tahun 2013.

Dana untuk IELTS saat itu 2,1 juta di IDP (kayaknya di british council lebih murah, 1,8(?) tapi seatnya terbatas). Dana banjarmasin-jakarta-banjarmasin hitunglah lagi 2-6 juta (tambah biaya jalan-jalan, hehehe).

dari semua band, semua sudah diatas 7, kecuali writing yang cuma 5,5 T_T.

SARAN: AMBIL PERCOBAAN DULU SEBELUM AMBIL IELTS BENERAN.

Akhirnya harus ngambil IELTS lagi, karena batas minimum di UniMelb fakultas pendidikannya adalah 6,5 untuk setiap band.

Hitung aja lagi kira-kira habis berapa 😀

kemudian ada pesan masuk ke email, yang ngasih berita bahwa aku conditionally accepted tapi bukan dijurusan yang aku mau (Pendidikan MIPA) karena mata kuliah S1 nya nggak cocok dengan mata kuliah prasyarat untuk ngambil jurusan yang aku mau. Mereka kasih offer untuk ke Pendidikan guru SD yang akhirnya juga nggak bisa diambil karenaaaa

hasil IELTS kedua akhirnya terjadi perubahan menggalaukan. Tiba-tiba listeningnya turun jadi 6 T_T padahal writingnya sudah 6,5.

That’s how God guide me back to my first choice, Institute of Education (IoE), London. IoE awalnya ngga termasuk ke dalam list 50 besar LPDP saat aku lulus beasiswa di 2013 (jadi nggak bisa milih itu), tapi setelah tahun 2014, mereka merger dengan University College London, yang ada dalam list sehingga akhirnya bisa daftar ke situ.

Sekitar April, aku sudah dapat kabar bahwa aku diterima di IoE. Alhamdulillah. Sejak saat itu sudah mulai mengkhayal berangkat, termasuk di dalamnya urusan visa dan belajar nyari akomodasi.

And now, aku sudah dapat offer akomodasi dan diminta bayar deposit 500 poundsterling. Oh meen… Kurs saat ini menunjukkan 1 pondsterling sama dengan 21,1 sekian ribu rupiah beberapa minggu yang lalu cuma 19 rebu…….

Dan sampai saat ini aku belum dapat uang sepeser pun dari LPDP, karena Settlement Allowance pertama baru akan dibayar setengahnya setelah bikin visa.

Yes sodara-sodara, visa bayar sendiri dulu juga bikinnya. Visa ke UK kira- kira 7 juta visa dan 4 juta NHS +_+.

Jadi gimana yaaa… Inilah dasar dari keputusan berhenti S2 itu. Aku bahkan nggak nyangka bakal jadi sebesar ini. Aku bersyukur punya orang tua yang supportif dan berkecukupan.

Tulisan ini diawali dengan kutipan dari dosen pas aku masih kuliah S1 di semester 5. Benar sekali pesan beliau.

Terakhir, jika ada yang bertanya, nggak nyesel sudah sempat S2 di sini 1 semester, kan tinggal 1 tahun lagi. Nggak negrasa sia-sia?

Iya, bener, tinggal 1 tahun lagi dan mestinya saat nulis postingan ini aku sudah nyiapin proposal thesis. Ngerasa sia-sia? Enggak pernah.

Karena kuliah di S2 di Unlam memberi banyak bekal untuk bisa sampai di titik ini. Semua diskusi, tugas dan review jurnal sudah banyak membantu dalam bikin esai, tes IELTS, pendaftaran di semua uni, sampai bikin personal statement. Nggak ada penyesalan dan nggak ada yang sia-sia.

Namun tulisan ini dibuat biar ngasih tau teman-teman yang lain, especially mereka yang sangat budget-wise dalam perencanaan kehidupannya, supaya bisa memperkirakan, kepake uang pribadinya habis segini loh. Bukan buat nakutin, tapi biar siap dengan segala kemungkinan.

Oh iya, LPDP mengcover biaya bikin visa kok, sejak dari bikin visa LPDP sudah cover (buat yang mau ke amerika LPDP juga menggratiskan biaya GRE). Uang yang kepake untuk bikin visa akan di reimburse. Tapi nggak untuk tes IELTS. Selain itu juga dapat settlement allowance/biaya kedatangan sebesar dua kali living allowance sebagai ganti harta gono gini yang kepake buat persiapan berangkat dan persiapan tinggal disana. jadi ntar kalo sudah enroll di uni kita udah bisa minta SA 2 + living allowance untuk 3 bulan *siap program bayar hutang*.

Semoga bisa membantu dalam pemetaan pendanaan kuliahnya yaa. 🙂